Simfoni Tanpa Harmoni: Paradoks Seorang Guru di Negeri Kaya Irioni
"Pak, kenapa kita harus belajar kalau gurunya saja makan dari gaji yang dipotong?" Suara itu meluncur dari mulut kecil seorang anak di depan kelas. Ruangan itu sunyi, seperti tertikam oleh kebenaran yang tidak ingin diakui siapa pun. Bu Ratna, guru honorer dengan masa pengabdian dua dekade, tersenyum tipis. Senyuman yang seperti perban di atas luka yang tak pernah sembuh. Dia memandang papan tulis yang penuh coretan impian murid-muridnya, kemudian mengingat secarik slip gaji yang diterimanya tadi pagi: Rp 450.000, untuk sebulan penuh.
Bu Ratna mengajar di sebuah sekolah negeri di pinggiran kota, sebuah bangunan yang lebih mirip gudang daripada institusi pendidikan. Atap bocor, meja reyot, dan papan tulis yang mengelupas menjadi saksi bisu perjuangannya. Di satu sisi, pemerintah menggaungkan pentingnya pendidikan. Di sisi lain, Bu Ratna dipaksa memilih antara membeli buku pelajaran untuk muridnya atau beras untuk keluarganya.
Dalam sebuah seminar pendidikan nasional, Menteri Pendidikan berdiri gagah di atas podium berlapis emas, berpidato lantang tentang transformasi digital. "Kita telah memasuki era pendidikan berbasis teknologi," katanya, diiringi tepuk tangan meriah para pejabat. Di saat yang sama, Bu Ratna sedang sibuk mengumpulkan botol plastik bekas sepulang mengajar. Dia butuh tambahan penghasilan untuk melunasi utang di warung.
Ironi itu semakin dalam ketika sebuah proyek bernilai miliaran rupiah diumumkan: pengadaan tablet untuk siswa di daerah terpencil. Namun, ketika tablet itu tiba, sekolah Bu Ratna tidak memiliki listrik yang cukup untuk mengisi daya. Bahkan jaringan internet pun hanya ilusi. Murid-murid bermain dengan tablet seperti mainan plastik, sementara Bu Ratna kembali mengajarkan abjad dengan kapur dan papan tulis.
Seorang wartawan asing pernah datang ke sekolah itu, bertanya dengan nada skeptis, "Apa yang membuat Anda tetap mengajar di sini meskipun gajinya tidak manusiawi?" Bu Ratna tersenyum, kali ini senyumnya terasa seperti jeritan tertahan. "Mungkin ini takdir saya," katanya, "atau mungkin saya hanya terlalu bodoh untuk menyerah."
Namun, absurdnya kehidupan Bu Ratna mencapai puncaknya ketika pemerintah meluncurkan program sertifikasi guru. Syaratnya: setiap guru harus mengikuti pelatihan daring dengan biaya yang tidak sedikit. Bu Ratna terpaksa meminjam uang dari rentenir untuk membayar biaya pelatihan. Dengan laptop tua yang sering mati mendadak, dia berjuang menyelesaikan modul. Ironisnya, setelah lulus sertifikasi, gajinya hanya naik Rp 50.000.
Pada suatu hari, saat Bu Ratna tengah membersihkan kelas, datanglah seorang pejabat lokal untuk inspeksi mendadak. Dia mengeluhkan kondisi sekolah yang memprihatinkan, lalu berjanji akan mengajukan anggaran renovasi. Beberapa bulan kemudian, renovasi memang dilakukan. Namun, yang direnovasi bukan kelas atau toilet yang ambruk, melainkan ruang kepala sekolah—yang kebetulan adalah saudara jauh sang pejabat.
Bu Ratna kadang merasa seperti pemeran utama dalam film tragikomedi yang tak pernah berakhir. Dia teringat seorang muridnya, Joni, yang sering tidur di kelas karena bekerja sebagai pemulung setelah pulang sekolah. Ketika ditanya mengapa masih mau bersekolah, Joni menjawab, "Supaya saya bisa jadi orang pintar seperti Bu Ratna." Kata-kata itu membuat Bu Ratna ingin menangis, bukan karena terharu, melainkan karena merasa telah menjual harapan palsu.
Di akhir semester, seperti biasa, ada upacara penghargaan bagi guru-guru berprestasi. Nama-nama yang diumumkan adalah mereka yang dikenal memiliki "kedekatan" dengan pejabat pendidikan setempat. Bu Ratna hanya berdiri di barisan belakang, bertepuk tangan sambil menahan getir. Di matanya, penghargaan itu hanyalah simbol kekosongan moral yang merajalela.
Malam itu, di rumah kontrakannya yang sempit, Bu Ratna menulis diari. "Hari ini, aku lelah," tulisnya. "Tapi aku akan tetap mengajar, karena mungkin satu dari mereka adalah anak yang akan mengubah segalanya." Dia menutup buku itu dan menatap atap rumahnya yang berlubang, membayangkan hujan deras yang mungkin datang.
Besok paginya, seperti biasa, Bu Ratna berangkat mengajar. Di perjalanan, dia melewati baliho besar yang memajang foto seorang pejabat dengan slogan "Pendidikan adalah Prioritas." Dia tersenyum pahit, menahan tangis yang menggelayut di sudut matanya. "Tidak terjadi di Indonesia."
#Guru #PendidikanIndonesia #IroniPendidikan
Post a Comment for "Simfoni Tanpa Harmoni: Paradoks Seorang Guru di Negeri Kaya Irioni"