Guru Gila yang Dibelenggu Kurikulum
Di sebuah kelas yang berdebu, di suatu sekolah yang begitu sunyi meski berada di pusat kota, Pak Joko tiba-tiba berdiri di tengah ruangan. Ia menatap kosong papan tulis yang hanya terisi deretan angka yang tidak ada artinya. Matanya seperti mengharapkan jawaban dari angka-angka itu, padahal ia tahu, seperti yang lainnya, bahwa angka-angka itu takkan pernah bisa memberi jawaban. "Anak-anak," teriaknya tiba-tiba, membuat suara yang terperangkap dalam dirinya itu menghantam dinding kelas. "Mau belajar apa hari ini?"
Murid-muridnya hanya menatapnya dengan pandangan kosong. Beberapa terlihat jenuh, lainnya tampak bingung. Mereka tidak tahu apa yang harus dipelajari. Itu adalah pertanyaan yang berulang, seperti sebuah pola yang terus berputar tak berujung. "Mereka tidak butuh pelajaran, Pak," ujar salah satu murid dengan suara pelan, seolah memecah kesunyian yang mencekam.
Pak Joko terdiam, menyadari bahwa jawaban muridnya itu bukanlah jawaban yang ingin didengarnya. Seakan tertangkap oleh waktu yang begitu cepat berjalan, ia merasakan bahwa dirinya telah terjebak dalam suatu labirin yang penuh dengan kebingungan. Di luar, dunia telah berubah. Kurikulum baru, teknologi yang canggih, namun anak-anak tetap saja tak mengerti arti pelajaran yang mereka terima.
"Apakah kalian tahu kenapa saya masih di sini?" Pak Joko melanjutkan pertanyaannya, meski tahu bahwa itu hanya akan membuat mereka semakin bingung. Ia merasa lelah dan jenuh, terperangkap dalam rutinitas yang tak ada habisnya. Tugas yang terus datang, jam mengajar yang tak ada habisnya, namun tidak ada yang berubah. Sistem pendidikan yang ia layani seperti sebuah mesin yang tak pernah berhenti berputar, sementara ia hanya bisa mengikutinya, tanpa bisa mengubah apapun.
Namun, ada satu hal yang selalu ia simpan dalam hatinya—sebuah pertanyaan sederhana: apakah pendidikan ini masih memiliki makna? Mengingat kembali semangatnya di awal mengajar, ia merasa seperti orang bodoh yang tertipu oleh kata-kata manis tentang perubahan. Pendidikan yang katanya untuk kemajuan, tetapi hanya memaksa dirinya dan para murid untuk mengikuti aturan yang tidak pernah mereka pahami.
Murid-muridnya kini terlihat seperti robot. Mereka menerima informasi tanpa tahu apa yang mereka pelajari. Ujian datang, mereka menyontek atau menghafal, dan kemudian hasilnya dicatat. Apa yang mereka dapatkan setelah itu? Sebuah angka di rapor. Bukankah itu yang diinginkan oleh sistem? Sebuah angka yang bisa memutuskan masa depan mereka, meski mereka tidak tahu apa-apa tentang hidup itu sendiri.
Pak Joko mulai berpikir, apakah ia masih layak disebut guru? Atau ia hanyalah penjaga ruang kelas yang terjebak dalam rutinitas tanpa makna? Ia melihat anak-anak yang tidak tahu apa yang mereka hadapi, dan ia merasa seperti sedang mengajar sesuatu yang tidak pernah ada. Kurikulum yang dipaksakan, dengan berbagai standar yang tinggi, sementara dunia nyata terus berputar dengan cara yang berbeda. Masyarakat menganggapnya sebagai orang yang harus mencetak generasi masa depan, tetapi tidak ada yang benar-benar peduli dengan apa yang ia ajarkan.
"Pak Joko," seorang murid yang bernama Rani, akhirnya angkat bicara, "kenapa kita harus belajar semua ini? Apa gunanya rumus-rumus ini kalau kita tidak tahu kapan kita akan menggunakannya?"
Pertanyaan itu seperti sebuah tamparan keras. Pak Joko tidak tahu harus menjawab apa. Ia terdiam beberapa detik, sebelum akhirnya menjawab dengan suara serak, "Kita belajar ini karena kita harus. Karena ini yang diminta oleh kurikulum."
Jawaban itu sepertinya tak memadai. Pak Joko merasakan sebuah ironi dalam dirinya. Mereka belajar tanpa tahu mengapa. Ia mengajarkan tanpa tahu apakah apa yang dia ajarkan benar-benar bermanfaat. Ia merasa seperti seorang aktor dalam drama yang tidak pernah selesai, memerankan peran yang bukan miliknya.
Di luar kelas, dunia bergerak dengan kecepatan yang tidak bisa dibendung. Anak-anak yang harusnya tumbuh dengan pengetahuan dan keterampilan untuk menghadapi dunia nyata, malah dibebani dengan ujian yang tak ada habisnya. Mereka terus dipaksa untuk belajar apa yang seharusnya sudah berubah sejak lama. Sementara, teknologi terus berkembang pesat, namun sekolah tetap tertinggal. Pendidikan seolah menjadi ajang untuk mengukur siapa yang bisa bertahan lebih lama, bukan siapa yang benar-benar siap menghadapi dunia yang terus berubah.
Pak Joko merasa seperti seorang guru gila yang dibelenggu oleh kurikulum yang tak ada artinya. Ia terus mengajarkan hal-hal yang tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari. Ia merasa seperti seorang penjaga yang terjebak dalam menara gading, tidak bisa turun dan melihat dunia nyata. Sistem yang ada bukan hanya membelenggu dirinya, tetapi juga membelenggu masa depan anak-anak yang ia ajar.
Suatu hari, di tengah-tengah kelas yang sunyi, Pak Joko memutuskan untuk melakukan sesuatu yang berbeda. Ia menutup buku ajar dan berdiri di depan murid-muridnya dengan tatapan serius. "Hari ini," katanya, "kita akan berhenti sejenak dari pelajaran ini. Kita akan berbicara tentang hidup."
Anak-anak terkejut. Mereka tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Ini bukan bagian dari kurikulum. Ini bukan bagian dari ujian yang akan mereka hadapi. Namun, Pak Joko tidak peduli lagi. Ia merasa bahwa sudah saatnya untuk membuka mata mereka, untuk melihat bahwa ada lebih banyak hal dalam hidup selain angka-angka di rapor dan jawaban-jawaban yang diajarkan dalam buku pelajaran.
"Anak-anak," ia mulai dengan suara pelan, "hidup ini bukan tentang ujian. Hidup ini bukan tentang nilai yang kita dapatkan. Hidup ini tentang bagaimana kita belajar untuk hidup, bagaimana kita belajar untuk berpikir, dan bagaimana kita belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik."
Murid-muridnya hanya diam. Mereka tidak mengerti sepenuhnya, tetapi mereka tahu bahwa ada sesuatu yang berbeda dalam ucapan Pak Joko. Mereka tidak tahu apakah itu benar atau tidak, tetapi ada perasaan yang aneh yang mulai muncul di hati mereka.
Namun, saat bel berbunyi dan pelajaran berakhir, semuanya kembali seperti semula. Sistem ini tak berubah. Kurikulum tetap ada, ujian tetap ada, dan Pak Joko kembali menjadi guru yang mengajar tanpa tahu apa yang dia ajarkan.
"Tidak terjadi di Indonesia." #PendidikanIndonesia #GuruIndonesia #Kurikuulum #SistemPendidikan #IroniPendidikan
Post a Comment for "Guru Gila yang Dibelenggu Kurikulum"