Istana Kardus di Negeri Zamrud Khatulistiwa
Rasa itu datang lagi. Sebuah pukulan yang begitu halus tetapi menusuk hati ketika Rudi mendengar bunyi ketukan palu. Sebuah kompleks perumahan elit baru akan segera diresmikan. Namun, di balik gemerlap lampu peresmian itu, ia berdiri di sisi tenda biru, bersama ratusan orang yang telah lama dijanjikan rumah bersubsidi oleh pengembang. Mereka adalah bayang-bayang di tengah terang.
"Pak, kapan kami bisa masuk rumah kami?" suara seorang ibu, dengan anak kecil menggenggam erat ujung kainnya, terdengar memohon kepada seorang pejabat proyek yang lewat. Sang pejabat hanya tersenyum kaku. "Sabar, Bu. Masih dalam proses." Jawaban itu selalu sama. Proses apa yang dimaksud, hanya langit Jakarta yang tahu.
Di layar besar yang dipasang megah, iklan perumahan bersubsidi terpampang dengan slogan berbunyi, "Hunian Nyaman untuk Semua!" Nyaman, kata yang begitu jauh dari kehidupan Rudi dan ratusan penghuni kontrakan sempit di pinggir kali yang terus menunggu janji. Mereka mengumpulkan uang muka dengan susah payah, hanya untuk menemukan kenyataan bahwa pembangunan tak kunjung selesai.
Ironi tak berakhir di situ. Di lain tempat, unit-unit kosong di kompleks apartemen premium milik pemerintah daerah dibiarkan membisu. Harganya yang "terjangkau" ternyata masih jauh dari kantong rata-rata pekerja. Rudi pernah mencoba mengajukan kredit untuk unit tersebut, tetapi penghasilannya yang dihitung berdasarkan UMR dianggap "tidak memenuhi syarat." Ia tertawa getir mengingat kata-kata pegawai bank, "Maaf, Pak. Kalau Bapak miskin, jangan mimpi punya rumah."
Beberapa bulan lalu, pemerintah mengumumkan program "Bedah Rumah Nasional." Berita itu sempat membawa harapan, hingga ia mendengar tetangganya, Pak Arman, yang rumahnya termasuk dalam daftar bantuan, harus menjual kambingnya untuk "biaya administrasi" kepada perangkat desa. Hasilnya? Rumah Pak Arman memang dibedah, tapi hanya untuk diganti dengan bangunan berdinding tripleks yang tak tahan hujan deras. "Rumah baru saya ini, Mas," katanya sambil menunjuk dinding yang mulai melengkung terkena air.
Rudi sering kali bertanya-tanya, apa definisi rumah layak menurut negara? Di jalan lain, ia melihat jajaran rumah deret yang baru saja selesai dibangun oleh pengembang swasta, dipenuhi spanduk iklan penuh warna. "Mulai 150 juta!" tertulis besar-besar. Ketika ia mencoba mencari informasi, ternyata itu harga untuk tanah kosong, tanpa bangunan. "Bangun sendiri, Pak. Lebih hemat," ujar agen properti dengan santai.
Malam itu, Rudi duduk di atas tikar plastik, menatap rumahnya yang tak lebih dari gubuk sempit di gang kumuh. Anaknya yang berusia lima tahun, Nina, bertanya polos, "Pak, kapan kita punya rumah seperti di TV?" Rudi tak mampu menjawab. Ia hanya tersenyum, memeluk putrinya erat, dan berharap Nina tak mendengar suara tikus yang berlarian di atas plafon rapuh.
Di sisi lain kota, sebuah pameran properti sedang berlangsung. Para pengembang memamerkan "smart home" dengan teknologi terkini, yang dapat dikendalikan lewat aplikasi ponsel. Rumah-rumah itu dilengkapi dengan fasilitas seperti kolam renang, gym, dan pusat hiburan pribadi. Harga? Satu unitnya bisa membeli seluruh kompleks kontrakan tempat Rudi tinggal, dan masih ada sisa untuk membeli dua mobil mewah.
Namun, cerita tentang perumahan rakyat tak selalu dipenuhi tragedi pribadi. Terkadang, ia berubah menjadi lelucon kolektif. Seperti ketika pemerintah mengumumkan pembangunan "Kota Baru" untuk mengatasi masalah urbanisasi. Tanah ribuan hektar digusur, janji-janji surga dihamparkan. Tapi beberapa tahun kemudian, proyek itu berhenti di tengah jalan, menyisakan hamparan tanah kosong dengan tiang-tiang beton tak berujung. "Kota Baru jadi Kota Hantu," candaan itu beredar luas di media sosial.
Dan di sinilah letak absurditas yang paling mencolok. Di negeri dengan kekayaan alam melimpah ini, tempat emas dan batubara digali setiap hari, orang seperti Rudi tetap harus bermimpi untuk sekadar memiliki rumah sederhana. Negara yang sering disebut-sebut sebagai Zamrud Khatulistiwa ini, entah bagaimana, selalu kehilangan kilauannya ketika menyentuh persoalan dasar warganya.
Malam itu, Rudi mendengar kabar baru. Kompleks perumahan yang ia tunggu akhirnya akan dibangun. Tapi ada syarat tambahan: harga unitnya naik hampir dua kali lipat dari perjanjian awal. "Kalau tidak sanggup bayar, uang muka hangus," begitu bunyi pengumuman dari pengembang. Rudi merasa darahnya mendidih. Ia bekerja siang malam sebagai buruh harian, hanya untuk dihadapkan pada kenyataan bahwa impian rumah itu semakin menjauh.
Keesokan paginya, Rudi berdiri di depan kantor pengembang bersama puluhan warga lain. Mereka membawa spanduk protes, menuntut keadilan. Tapi keadilan, seperti rumah impian itu, tampaknya hanya ada dalam brosur iklan.
"Semua ini salah siapa?" suara seseorang memecah kerumunan. Rudi tak tahu harus menjawab apa. Ia hanya menatap spanduk besar di depan kantor, yang berbunyi: "Mewujudkan Rumah Layak untuk Semua!" Kata-kata itu terasa seperti ejekan, sebuah ironi yang begitu tajam hingga membuatnya tertawa kecil.
Di dalam hatinya, ia tahu. Selama rumah dianggap komoditas, bukan kebutuhan dasar, mimpi akan "rumah untuk semua" hanyalah ilusi. Di negeri ini, rumah bukan lagi tempat berteduh, melainkan alat untuk mempermainkan harapan.
“Tidak terjadi di Indonesia.”
#AffordableHousing #HomeForEveryone #PublicHousingCrisis #EconomicJustice #UrbanDevelopment
Post a Comment for "Istana Kardus di Negeri Zamrud Khatulistiwa"