Tangis di Tengah Tawa
Suara tawa terdengar pecah dari sebuah ruangan besar dengan lampu-lampu berkelap-kelip. Di atas panggung, seorang pejabat mengenakan seragam rapi sedang melambai kepada kerumunan yang bertepuk tangan. "Kita adalah bangsa besar!" teriaknya dengan penuh kebanggaan. Di balik panggung, ada seorang anak kecil dengan pakaian lusuh yang menatap kosong. Ia bukan bagian dari acara, tapi entah bagaimana ia bisa berada di sana. Matanya yang memelas menangkap sekilas kemewahan yang terpancar di ruangan itu. Tiba-tiba, seseorang menepuk pundaknya, menyuruhnya pergi. "Bukan tempatmu di sini," ucap seorang pria berseragam.
Anak itu berbalik dan melangkah pergi, melewati gedung mewah itu, menyusuri jalan yang berdebu. Di sisi jalan, ia melihat papan besar bertuliskan "Indonesia Maju." Slogan yang sama terdengar di mana-mana, mengisi udara melalui pengeras suara di setiap sudut kota. Namun, langkah kaki anak itu membawanya ke perkampungan kumuh di mana suara-suara yang berbeda terdengar—jeritan bayi yang kelaparan, suara ibu-ibu yang berbisik tentang harga beras yang naik lagi, dan keluh kesah bapak-bapak yang tak tahu harus bekerja apa esok hari.
Sementara itu, di televisi, berita tentang pembangunan proyek besar terus menggema. Jalan tol baru, bandara megah, jembatan yang menghubungkan pulau-pulau. "Kemajuan ini milik kita semua!" kata seorang presenter berita dengan senyum lebar, tanpa menyadari bahwa di belakang kamera, seorang kru televisi sedang mencabut kabel karena gajinya belum dibayar berbulan-bulan. "Kita adalah bangsa besar!" teriak presenter itu lagi.
Anak kecil tadi terus berjalan, kini melewati sekolah yang gedungnya hampir roboh. Pintu-pintu kelas dibiarkan terbuka, dinding-dindingnya dipenuhi coretan, dan atapnya bocor. Di dalam kelas, seorang guru tua berusaha keras mengajar beberapa murid yang duduk di lantai karena kursi dan meja telah lapuk dimakan usia. "Kalian harus belajar keras untuk meraih masa depan cerah," ucap sang guru dengan suara serak. Namun, di luar kelas, seorang siswa remaja sedang sibuk mengerjakan tugas sekolahnya di bawah terik matahari—bukan di atas kertas, tetapi melalui ponsel usangnya yang sinyalnya sering hilang.
Di sudut lain, sebuah keluarga duduk di depan televisi yang setengah buram, menonton berita tentang program bantuan pemerintah yang baru saja diumumkan. "Bantuan langsung tunai ini akan meringankan beban rakyat," kata seorang pejabat di layar. Ayah keluarga itu tertawa pahit, membuka dompetnya yang kosong. "Kapan bantuan itu sampai ke sini?" tanyanya, meski tak ada yang menjawab. Di sudut ruangan, sang ibu sibuk menghitung uang recehan untuk membeli minyak goreng esok hari.
Dalam suasana yang kontras, di sebuah gedung mewah, sekelompok orang penting tengah rapat membahas anggaran negara. Mereka duduk di kursi kulit yang nyaman, mengelilingi meja besar dengan makanan melimpah. Di luar jendela kaca gedung itu, sekelompok buruh pabrik sedang menggelar demonstrasi. Suara mereka serak, bendera-bendera kecil mereka berkibar di bawah terik matahari. Mereka meminta hak-hak yang sudah terlalu lama diabaikan, tapi suara mereka tenggelam dalam gemuruh mesin-mesin yang tak pernah berhenti bekerja. "Kita butuh revolusi!" teriak seorang buruh. Namun, revolusi hanya terdengar seperti gema hampa di gedung-gedung pencakar langit yang menjulang.
Sementara itu, di gedung parlemen, para wakil rakyat tengah sibuk berdebat soal undang-undang baru. Kamera-kamera media menyorot mereka dari berbagai sudut. Salah satu anggota parlemen dengan suara lantang berkata, "Kami peduli pada nasib rakyat kecil!" Namun, saat kamera berhenti merekam, ia meraih ponselnya, mengirim pesan kepada rekannya: "Jangan lupa soal pembagian proyek itu nanti." Di balik pintu, seorang cleaning service sedang mengepel lantai, mendengar percakapan itu dengan lirih, lalu menggelengkan kepala dan terus bekerja.
Di sisi lain kota, sebuah rumah sakit penuh sesak dengan pasien yang terbaring menunggu giliran. Perawat-perawat berlari-lari dari satu ruangan ke ruangan lain, berusaha memberikan perawatan terbaik dengan peralatan yang terbatas. Di ruangan kecil di ujung koridor, seorang ibu muda menangis pelan, meratapi anaknya yang tak bisa diselamatkan karena keterlambatan penanganan. "Jika saja kita bisa pergi ke rumah sakit yang lebih baik," bisiknya, tapi ia tahu tak ada pilihan lain. Di layar televisi kecil di ruang tunggu, iklan tentang obat-obatan modern dan klinik-klinik elite terus berputar.
Langit mulai gelap, dan anak kecil tadi kembali ke perkampungannya yang semrawut. Di sana, para tetangga sedang duduk di depan rumah, bercakap-cakap sambil menonton berita di televisi tetangga yang satu-satunya memiliki antena. "Negara kita hebat, ya. Banyak proyek besar," ujar salah satu dari mereka. "Iya, tapi kita kapan bisa merasakannya?" sahut yang lain dengan tawa getir. Anak kecil itu duduk di pojok, memandangi bintang-bintang yang mulai tampak di langit, berharap suatu hari nanti ia bisa ikut menikmati kemajuan yang selalu digembar-gemborkan di televisi itu.
Namun, di balik bintang-bintang itu, ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Sebuah konferensi internasional tengah berlangsung di hotel bintang lima, dihadiri oleh tokoh-tokoh besar dunia. Di panggung, seorang perwakilan Indonesia berdiri dengan bangga, mempresentasikan pencapaian-pencapaian negaranya di hadapan dunia. "Kami telah berhasil mengurangi kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, dan mempercepat pembangunan infrastruktur," katanya dengan penuh percaya diri. Para hadirin bertepuk tangan, terkesima dengan kisah sukses yang disampaikan.
Tetapi di jalan-jalan, di rumah-rumah kecil yang sumpek, di sekolah-sekolah yang terlupakan, di pabrik-pabrik yang berisik, dan di rumah sakit yang sesak—kisah yang berbeda terus terjadi. Seperti dua dunia yang berjalan berdampingan tapi tak pernah saling menyentuh. Di satu sisi, gemerlap dan kebanggaan; di sisi lain, kepahitan dan perjuangan yang tak kunjung usai.
"Negara kita ini memang penuh kejutan," kata seorang bapak tua sambil tersenyum pahit, duduk di depan rumahnya yang nyaris ambruk. "Kita ini bangsa besar, katanya." Anak kecil yang tadi masih termenung memandang bintang-bintang, mencoba membayangkan dunia di balik kata-kata besar yang sering ia dengar. Dunia yang seakan-akan begitu dekat, tapi tak pernah ia sentuh.
“Tidak terjadi di Indonesia.”
#Development #IndonesiaCrisis #Irony
Post a Comment for "Tangis di Tengah Tawa"