Negeri di Ujung Akal
Matahari terik menyinari langit, tapi di bawahnya, di sebuah ruang kelas yang temboknya penuh coretan, seorang bocah 12 tahun berdiri di depan papan tulis. Wajahnya polos, kakinya gemetar, namun tangannya mencengkeram pena seolah benda itu adalah penyelamat terakhir dari kehancuran. “Coba sebutkan sila pertama Pancasila,” ucap gurunya, suara penuh pengharapan.
“Sila pertama… Ketuhanan yang Maha Esa, Bu,” jawabnya dengan pelan, seolah berbisik kepada angin yang menyejukkan.
Seketika, terdengar denting handphone di meja sang guru, tanda pesan baru. Gurunya tersenyum, memandang ke layar ponsel dan mengabaikan anak yang tadi menjawab. Di layar, terpampang foto sebuah tas Hermes terbaru yang dijual online. “Ah, nanti saja,” gumamnya.
Di luar jendela, suara klakson mobil-mobil yang terjebak macet menggema. Orang-orang mengeluh, “BBM naik lagi!” Tapi di layar televisi, seorang menteri baru saja berpidato dengan bangga, “Kami berhasil menstabilkan ekonomi bangsa!” Ironi menyeruak dari setiap sudut jalanan. Di tengah himpitan gedung-gedung pencakar langit yang berjejer, ibu-ibu penjual gorengan masih menata dagangan di trotoar dengan harapan rupiah demi rupiah.
Anak kecil itu duduk kembali di bangkunya, menatap kosong ke arah papan tulis. Di luar sana, suara-suara menggema—protes tentang gaji guru honorer yang belum dibayar, sementara di layar lain, berita tentang pembangunan ibu kota baru terus dipamerkan dengan visualisasi gedung-gedung megah yang belum ada. Sesekali, wajah para petinggi negeri itu muncul, tersenyum dengan penuh keyakinan bahwa mereka sedang memimpin negeri menuju masa depan yang gemilang. Tapi, di balik senyum itu, tersimpan tawa getir yang hanya mereka yang tahu maknanya.
Seorang pengamen muda masuk ke angkot. Dengan gitar kecilnya yang sudah kusam, dia menyanyikan lagu-lagu cinta yang menyayat hati, mengharapkan koin yang dilemparkan penumpang. Tapi, di sudut lain ibu kota, seorang pemuda di gedung megah baru saja memenangkan tender proyek triliunan rupiah—proyek yang, ironisnya, tak pernah benar-benar dirasakan rakyat biasa. “Selamat kepada perusahaan ini atas proyek besar pembangunan!” teriak pembawa acara berita dengan nada penuh optimisme.
Di sudut kota lain, seorang petani menatap sawahnya yang mulai mengering. "Airnya tak ada," gumamnya. Berbulan-bulan dia mengharapkan hujan yang tak kunjung turun, sementara itu di istana, rapat darurat soal impor beras sedang berlangsung. "Demi kebutuhan pangan nasional!" ujar salah satu menteri dengan lantang.
Namun, tak jauh dari istana itu, antrean bantuan sosial memanjang. Orang-orang berebut sembako, terhimpit oleh kebutuhan yang tak kunjung terpenuhi. Seorang ibu menggendong anaknya yang kurus kering, menatap dengan mata kosong ke arah tumpukan karung beras yang diangkut petugas. "Antri bu, antri!" teriak seseorang di belakangnya. Di televisi yang dipasang di sudut gedung, iklan produk kecantikan menggema, menawarkan solusi untuk kulit putih bersinar, sementara di cermin, wajah-wajah rakyat kecil semakin suram.
Malam tiba, dan di gedung parlemen, lampu-lampu menyala terang. Para wakil rakyat berpakaian mewah berkumpul dalam sebuah pesta. Piring-piring penuh makanan mewah berlimpah di meja. Sambil tersenyum dan bersulang, mereka membahas bagaimana cara mempercepat pembangunan negeri ini. "Kita harus segera menyesuaikan anggaran," ujar salah satu dari mereka, tangannya menggenggam segelas anggur merah mahal.
Di layar ponsel mereka, muncul video seorang anak kecil dari pedalaman yang berjalan kaki sejauh 10 kilometer setiap hari untuk pergi ke sekolah. "Kasihan sekali anak itu," gumam salah seorang anggota parlemen, sebelum kembali menikmati hidangan lobster yang terhidang di depannya. Anggota lainnya tertawa, "Negeri kita memang penuh potensi, hanya butuh sedikit dorongan untuk maju."
Di jalanan, demonstrasi buruh kembali pecah. Mereka menuntut upah layak, tapi suara mereka tenggelam oleh deru kendaraan mewah yang melintas. Di pojok gedung bertingkat, seorang remaja berjas rapi memegang papan tulis bertuliskan, “Kerja Cepat, Kaya Raya, Investasi Tanpa Batas.”
Di kantor pemerintah, keputusan baru tentang kenaikan harga listrik baru saja disahkan. "Ini demi kemajuan bangsa," ujar sang pembuat kebijakan. Tapi, di sebuah desa terpencil, listrik baru menyala selama dua jam sehari. Seorang bapak tua duduk di depan rumahnya yang gelap, menatap langit malam yang tanpa bintang. "Mungkin kita hanya butuh doa lebih banyak," gumamnya pada diri sendiri.
Di stasiun televisi nasional, acara penghargaan musik digelar besar-besaran. Artis-artis papan atas tampil gemerlap dengan busana mewah dan riasan tebal. Di sebelahnya, layar memutar berita tentang banjir di berbagai wilayah yang merendam rumah-rumah penduduk. "Itu sudah biasa, setiap tahun juga begitu," komentar seorang penonton yang tengah asyik menonton dari balik cermin salon.
Saat pagi menjelang, kantor-kantor penuh sesak oleh para pekerja yang mengejar jam absen. Di lantai atas gedung yang sama, para eksekutif rapat membicarakan investasi besar yang datang dari luar negeri. “Kita harus menjual aset-aset negara yang kurang produktif!” seru salah seorang dari mereka, seraya membolak-balik laporan keuangan yang penuh angka dan proyeksi.
Namun, di balik layar canggih yang menampilkan grafik ekonomi yang meningkat tajam, para kuli bangunan duduk di sudut jalan, mengunyah nasi bungkus seadanya, bersiap melanjutkan kerja di bawah terik matahari. Upah mereka mungkin tak sebanding dengan keringat yang mereka keluarkan, tapi mereka tetap bekerja, karena hidup adalah perjuangan yang tak pernah berhenti.
Dan di ujung cerita ini, di sebuah sudut negeri, ada seorang anak kecil yang masih berusaha memahami apa arti semua ini. Dalam diam, dia bertanya-tanya, apakah semua yang dilihatnya ini benar-benar nyata, atau hanya permainan kata-kata dan mimpi kosong dari mereka yang duduk di atas sana.
“Tidak terjadi di Indonesia.”
#EkonomiDigital #ParadoksNegeri #HargaBBMNaik #BuruhBerjuang #UpahLayak

Post a Comment for "Negeri di Ujung Akal"