Negeri 1000 Pajak
Ketika aku bangun pagi ini, seluruh pajak dihapuskan. Seperti itu pengumumannya di layar ponselku, satu kalimat yang singkat dan menohok: "Negeri kita, dengan bangga, menghapuskan pajak. Hidup rakyat tanpa beban." Sekilas, aku merasa mimpi. Tapi entah mengapa, saat aku meraih secangkir kopi dan duduk menatap kaca jendela, aku tidak merasakan kegembiraan. Ada yang aneh. Sesuatu yang tak tertangkap jelas, namun mengganggu. Bagaimana mungkin, tanpa pajak?
Di jalanan, semua tampak biasa. Lalu lintas tetap sibuk, pedagang kaki lima berdiri di trotoar, sementara para pekerja kantoran bersiap berangkat ke kantor mereka. Tak ada tanda-tanda keramaian atau euforia. Bahkan di berita, topik ini seperti terselip di antara laporan cuaca dan pergerakan harga sembako. Namun, penghapusan pajak seharusnya menjadi hal besar, bukan?
Sementara itu, kantor pajak tampak tetap buka. Aku berdiri di depan bangunan itu, mengamati orang-orang yang keluar-masuk dengan raut wajah campur aduk—ada yang bingung, ada yang marah, ada yang hanya terpaku di tempat. Seorang pria tua berseru, "Ini pasti cuma lelucon!" Tapi yang lain tertawa getir, "Bukankah sudah waktunya?"
Aku masuk ke dalam gedung, ke meja pelayanan yang kosong. Di sana, di balik meja resepsionis, seorang petugas berseragam pajak duduk tenang, seolah tak terjadi apa-apa.
"Maaf," kataku, "pajak benar-benar dihapuskan?"
Ia menatapku sebentar, lalu tersenyum tipis. "Tentu saja, tapi jangan salah paham. Pajak itu sudah tidak terlihat, tapi Anda tetap membayar, hanya dengan cara yang berbeda."
"Berbeda?" tanyaku, merasa semakin bingung.
"Ya, Anda mungkin tak melihatnya lagi di laporan penghasilan atau saat beli barang. Tapi percaya pada saya, negara tidak pernah berhenti mengambil apa yang mereka butuhkan."
Aku terdiam. Sesuatu di dalam hatiku mulai resah. Apa maksudnya? Jika pajak tidak lagi dipungut secara langsung, bagaimana caranya negara tetap mendapatkan dana? Apakah mereka telah menemukan cara lain untuk mengisi kas mereka?
Keesokan harinya, harga barang-barang kebutuhan melonjak. Sembako yang biasanya terjangkau kini menjadi barang mewah. Listrik, air, gas—semua naik drastis. Aku menatap tagihan yang datang dengan angka-angka yang menari-nari di atas kertas, tidak masuk akal. Aku menghubungi layanan pelanggan, tetapi mereka hanya mengatakan bahwa ini adalah 'penyesuaian.' Tidak ada yang tahu pasti apa yang disesuaikan, tapi semua hanya menerima begitu saja. Di pasar, ibu-ibu mengeluh, namun mereka tetap membeli. "Apa boleh buat," kata mereka, "semua orang harus makan."
Aku duduk di warung kopi, mengamati orang-orang yang berlalu-lalang. Mereka seperti zombie, berjalan tanpa tujuan, hanya mengikuti arus. Apakah ini dunia tanpa pajak yang kita impikan? Apakah benar-benar lebih baik seperti ini?
Di balik secangkir kopi, aku mendengar percakapan dua orang pejabat. Mereka berbisik-bisik, tapi suaranya cukup jelas untuk kudengar.
"Sudah siap dengan anggaran baru?"
"Siap. Dengan penghapusan pajak, kita bisa menaikkan anggaran belanja militer. Mereka tidak akan menyadari."
"Tentu saja tidak. Rakyat hanya memikirkan berapa harga makanan mereka."
Aku terhenyak. Tentu saja, rakyat hanya memikirkan harga barang-barang mereka. Tidak ada yang menyadari bahwa di belakang layar, penghapusan pajak adalah cara untuk menutupi manipulasi anggaran yang lebih besar. Pajak hilang, tapi beban tetap ada. Tidak lagi diatur dengan sistem yang jelas, tapi tersembunyi dalam kenaikan harga barang-barang yang tak terkontrol. Sederhana tapi licik. Rakyat tertawa lega ketika pajak hilang, tapi tak ada yang menyadari bahwa mereka tetap membayar lebih dari sebelumnya.
Suatu pagi, berita baru muncul: "Pemerintah meningkatkan alokasi dana untuk proyek infrastruktur besar." Infrastruktur yang mana? Tidak ada yang tahu. Jalan rusak tetap berlubang, gedung-gedung sekolah tetap runtuh, rumah sakit kekurangan obat. Tapi anggaran terus naik, dan pajak, meskipun tak lagi ada di mata kita, terus menarik napas terakhir dari kantong kita.
Pada satu titik, aku mulai menyadari bahwa negeri ini telah menjadi ladang absurditas. Semua berjalan tanpa arah, seperti pameran seni modern yang terlalu sulit dipahami. Pajak, yang seharusnya menjadi kewajiban warga negara untuk membangun bangsa, kini telah berubah menjadi teka-teki yang tak seorang pun mampu pecahkan. Kita tidak lagi tahu siapa yang menarik pajak, atau ke mana uang itu pergi. Tapi anehnya, kita juga tidak peduli. Seolah sudah terlalu lelah untuk mengajukan pertanyaan.
Saat itu, aku kembali mendatangi kantor pajak. Petugas yang sama menyapaku dengan senyum lembutnya. "Anda masih penasaran tentang pajak?" tanyanya dengan nada geli.
"Apa sebenarnya yang terjadi di sini?" tanyaku, setengah putus asa.
Dia hanya mengangkat bahu. "Tidak ada yang terjadi. Anda tetap membayar. Kami tetap bekerja. Tapi sekarang, semuanya terjadi di balik tirai. Transparansi itu overrated, bukan?"
Aku meninggalkan kantor pajak dengan kepala berputar. Di jalan, aku melihat kerumunan orang berkumpul di depan balai kota. Mereka berteriak, memegang spanduk yang menuntut transparansi anggaran. Namun suara mereka tenggelam dalam hiruk-pikuk jalanan. Orang-orang yang lewat tidak berhenti. Mereka hanya berjalan, sibuk dengan urusan mereka sendiri, terlalu lelah untuk peduli.
Aku pun melangkah pergi, terhanyut dalam arus manusia, menyadari bahwa dalam dunia ini, kita hidup dalam ilusi kebebasan. Pajak telah hilang, tapi harga dari ilusi itu jauh lebih mahal daripada yang bisa kita bayangkan.
“Tidak terjadi di Indonesia.”
#TaxRevolution #HiddenTax #CPCPajakTerbaik #IndonesiaMajuTanpaPajak
Post a Comment for "Negeri 1000 Pajak"