Negara Hukum Tanpa Hukum
Selembar surat keputusan diletakkan di atas meja. Di sudut ruangan, seorang hakim muda duduk termangu. Ia baru saja menandatangani vonis yang terasa ganjil. Suasana ruangan begitu sunyi hingga suara detik jarum jam terasa menyentak telinga. Di luar gedung pengadilan, para pedagang kaki lima dikejar-kejar satpol PP karena menggelar dagangannya di trotoar, sementara di tempat lain, seorang konglomerat yang terbukti merusak lingkungan dengan tambang ilegal baru saja mendapat izin operasi tambahan. Hukum bekerja. Tapi, siapa yang memegang kendali?
remotivi |
Pak Hakim, sebut saja begitu, tahu betul hukum di Indonesia ibarat simfoni cacat. Harmoni suara yang seharusnya mengalun merdu justru terdengar seperti instrumen yang dimainkan tanpa partitur. Selalu ada perasaan tak nyaman setiap kali ia mengayunkan palu, tapi itulah tugasnya: menghakimi, memutuskan, mengadili—walau kadang dirinya pun ragu apakah keadilan benar-benar ditegakkan. Namun, hari ini ada sesuatu yang lebih ganjil. Vonis bebas untuk seorang pejabat yang korup, meskipun bukti-bukti sudah setinggi gunung, justru mendapat tepuk tangan meriah dari mereka yang hadir di sidang.
Ketika vonis dibacakan, ruangan tidak meledak dalam kegemparan atau kehebohan. Sebaliknya, seolah semua orang sudah tahu akhirnya. Para pengacara tersenyum puas, sang terdakwa tersenyum lebar, sementara keluarga korban yang berharap pada keadilan hanya bisa diam, mungkin sudah mati rasa. Pak Hakim berdiri perlahan, menyembunyikan kekacauan di pikirannya. Hukum sudah dipermainkan, tetapi siapa yang bisa mengubah skenario yang sudah ditulis oleh tangan-tangan yang tak terlihat?
Di negeri ini, hukum itu seperti bayang-bayang. Ia ada, tetapi tak pernah sungguh nyata. Sering kali orang berkata, "Negara kita adalah negara hukum." Tetapi bukankah yang mereka maksud adalah hukum yang bisa dibengkokkan, dilipat, atau bahkan dihapus tergantung siapa yang memegang pena? Pak Hakim tahu, dalam ruang-ruang pengadilan yang megah dan dingin, keadilan tidak hanya buta, ia juga bisu dan tuli. Siapa yang berteriak paling keras, siapa yang punya uang paling banyak, dialah yang menentukan kebenaran.
Di luar ruang sidang, para demonstran mulai berkumpul. Mereka membawa spanduk bertuliskan "Keadilan untuk Rakyat!" dan "Hukum Milik Siapa?" Suara teriakan mereka terpantul di dinding-dinding gedung pengadilan yang tinggi, tetapi di dalam, semuanya tetap sunyi. Para pejabat yang hadir di sidang sibuk bersalaman, berbisik-bisik, dan membuat janji pertemuan makan malam. Hukum telah menjadi sekadar formalitas, serangkaian prosedur tanpa ruh, dimainkan dalam sandiwara yang disaksikan semua orang tetapi dipahami hanya oleh segelintir aktor yang bermain.
Ironi ini begitu terasa ketika Pak Hakim menonton berita di malam harinya. Kasus pencurian kecil seorang tukang becak yang mengambil beberapa buah di pasar mendapat hukuman tiga bulan penjara tanpa ampun, sementara pejabat-pejabat yang menilep miliaran uang rakyat terus bebas berkeliaran. Reporter melaporkan kasus itu dengan nada serius, seakan-akan keseimbangan dunia hukum sudah benar-benar hancur. Tapi, apakah ada yang benar-benar peduli?
Sebenarnya, absurditas ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Di sebuah negeri di mana hukum seringkali hanya berlaku bagi yang kecil, sementara yang besar dan kuat bisa melenggang dengan bebas, siapapun bisa tertawa getir. Pak Hakim ingat, ketika ia masih muda dan idealis, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menegakkan keadilan tanpa pandang bulu. Tapi semakin lama ia berkecimpung di dunia ini, ia sadar, hukum bukanlah soal benar atau salah. Hukum adalah soal siapa yang mampu memainkannya dengan cerdik.
Di kantornya yang remang, Pak Hakim menatap buku-buku tebal hukum yang berjajar di rak. Di situ tertulis kata-kata besar: keadilan, kebebasan, kebenaran. Kata-kata yang seharusnya menjadi pondasi bagi segala keputusan. Namun di balik kata-kata itu, ada sesuatu yang kosong, sesuatu yang hilang. Di jalanan, orang-orang berteriak menuntut keadilan, tetapi di ruangan ini, hanya diam yang berbicara.
"Apakah kita benar-benar negara hukum?" Pak Hakim berbisik pada dirinya sendiri. Tak ada yang menjawab, hanya desah angin malam yang masuk melalui celah jendela.
Sementara di luar, kerumunan massa semakin membesar. Seorang pria, dengan mikrofon di tangannya, berteriak lantang. "Hukum di negeri ini sudah mati! Hukum hanya untuk mereka yang miskin! Di mana keadilan untuk kita semua?" Terlihat kemarahan di wajah orang-orang, tetapi di atas panggung, para pemimpin tetap tersenyum seakan semuanya baik-baik saja.
Pada suatu waktu, hukum menjadi tumpuan harapan. Orang-orang mempercayainya, mempercayai bahwa keadilan akan ditegakkan, bahwa yang benar akan menang, dan yang salah akan dihukum. Namun kini, keyakinan itu telah berubah menjadi sinisme. Orang-orang tertawa sinis saat mendengar kata "keadilan." Bagi mereka, hukum telah menjadi permainan. Siapa yang pandai bermain, dialah yang menang. Hukum di negara ini ibarat kotak hitam, tempat di mana keadilan seharusnya muncul, tetapi yang keluar justru kebalikan dari yang diharapkan.
Namun, ironi terbesar adalah, semua orang tahu hal ini, tetapi tidak ada yang berbuat apa-apa. Pak Hakim tahu, setiap kali ia mengetuk palu, bukanlah keadilan yang ia wujudkan, melainkan keputusasaan. Tapi apakah ia punya pilihan? Ia hanya satu dari ribuan pemain dalam permainan yang telah diatur sejak lama.
Sebelum meninggalkan ruangannya malam itu, Pak Hakim memandangi selembar kertas di mejanya. Ia tersenyum pahit. "Negara hukum," gumamnya, sebelum lampu ruangan dipadamkan.
#justice
Post a Comment for "Negara Hukum Tanpa Hukum"