Monolog Bangku dan Papan Tulis
Di sebuah ruang kelas yang tidak pernah dikenal waktu, terdapat bangku-bangku yang berbicara pada dirinya sendiri. Setiap pagi, saat matahari enggan bersinar dengan benar dan suara mesin ketik usang menggema dari kejauhan, bangku-bangku itu saling menatap dengan penuh kecemasan. "Hari ini siapa lagi yang akan duduk di atas kita?" desis salah satu bangku yang berdecit setiap kali disentuh.
Papan tulis di depan kelas itu, yang telah lama menghitam bukan karena debu tapi karena kesedihan yang meresap, memandangi mereka dengan bijak. "Kalian tidak mengerti, wahai bangku. Yang datang duduk di atas kalian hanyalah boneka-boneka kosong. Mereka tidak pernah benar-benar hadir."
"Boneka?" Bangku yang paling tua bergetar. "Bukankah mereka anak-anak? Bukankah mereka calon penerus bangsa?"
Papan tulis tertawa getir. "Ah, istilah yang mengawang. Penerus bangsa, calon pemimpin, generasi emas. Semua itu hanya mimpi-mimpi di kepala orang dewasa yang tidak pernah hadir di sini. Mereka datang, duduk, mencoret-coret tubuhku, lalu pergi. Setiap harinya, mereka semakin jauh dari makna."
Ruangan kelas itu seolah menjadi saksi bisu dari perdebatan antara perabot dan realitas yang menyelimuti dunia luar. Di luar sana, dunia pendidikan dipenuhi oleh banyak cerita: kurikulum yang selalu berubah, buku teks yang disusun oleh orang-orang yang tidak pernah masuk kelas, serta ujian yang semakin mengukuhkan bahwa berpikir itu dosa.
Bangku di barisan paling depan bergumam, "Dulu, aku ingat, ada seorang anak yang datang dengan penuh semangat. Dia selalu tersenyum, selalu bertanya. Tapi suatu hari, dia berhenti. Senyum itu hilang. Pertanyaannya berubah menjadi diam. Mengapa?"
Papan tulis terdiam sejenak. "Karena mereka belajar untuk takut, bukan untuk memahami. Pertanyaan dianggap sebagai pembangkangan. Dan pembangkangan, di negeri ini, lebih buruk daripada tidak tahu sama sekali."
Di langit-langit kelas, lampu berkedip-kedip lelah, seolah ingin ikut berbicara namun tidak punya cukup energi. Jam dinding di pojok ruangan sudah lama berhenti berdetak, seakan menyerah untuk melacak waktu yang tak lagi relevan. Kapan terakhir kali seseorang benar-benar ingin belajar di sini? Kapan terakhir kali pendidikan bukan sekadar formalitas?
Pagi berikutnya, seorang guru masuk ke dalam kelas. Langkahnya berat, wajahnya datar, dan di tangannya ada setumpuk berkas yang entah apa isinya. Dia menghadap papan tulis, tetapi tidak melihat apa-apa di sana. Bangku-bangku bersiap menyambut anak-anak yang akan datang, meski mereka tahu, hari ini akan sama saja seperti kemarin.
Anak-anak mulai masuk. Dengan seragam yang tampak bersih, tapi mata mereka kosong, tanpa antusiasme. Mereka seperti robot kecil yang diarahkan oleh waktu, dinding-dinding institusi ini, dan orang-orang yang tak pernah peduli pada esensi belajar.
"Selamat pagi," suara guru itu terdengar hambar, tanpa jiwa.
"Selamat pagi, Pak," balas anak-anak dengan nada seragam, tanpa sedikit pun makna. Suara mereka mengalun seperti paduan suara yang terlatih untuk berbicara, bukan untuk memahami.
Guru itu mulai menjelaskan tentang suatu hal yang tertulis di buku, tetapi matanya kosong, pikirannya melayang entah ke mana. Dia bicara tentang hal-hal yang diharapkan keluar di ujian, tapi tak seorang pun di ruangan itu peduli tentang kebenaran atau hakikat ilmu. Semua hanya fokus pada hasil akhir: nilai.
Seorang anak di barisan belakang, yang entah bagaimana masih memiliki sedikit api di dalam dadanya, tiba-tiba mengangkat tangannya. "Pak, kenapa kita harus mempelajari ini?"
Seluruh kelas terdiam. Suasana berubah tegang. Guru itu memandangi anak tersebut dengan tatapan yang sulit dijelaskan. "Karena itu akan keluar di ujian," jawabnya singkat.
"Tapi, Pak, apa manfaatnya bagi kehidupan kita?"
Bangku-bangku mulai bergetar. Papan tulis menahan napas. Ini bukan pertanyaan yang biasa didengar di sini. Guru itu tampak terganggu. "Kamu tidak perlu tahu manfaatnya. Kamu hanya perlu menghafalnya. Semua ini sudah diatur oleh kurikulum, dan kurikulum adalah raja di sini."
Anak itu terdiam, tapi di dalam dirinya ada sesuatu yang bergolak. Papan tulis melihatnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa sedikit harapan. Namun, seperti api kecil di tengah badai, harapan itu segera padam. Anak itu menunduk, lalu membuka buku catatannya, menulis dengan tangan yang gemetar.
Bangku-bangku bergumam, "Apakah ini pendidikan? Apakah ini yang mereka sebut proses belajar?"
Di sudut kelas, seekor cicak yang sering kali menjadi saksi bisu dari kejadian-kejadian absurd di ruangan itu tertawa kecil. "Kalian tidak mengerti," katanya. "Ini bukan soal belajar. Ini soal siapa yang bisa menghafal lebih cepat, siapa yang bisa lulus ujian dengan nilai terbaik, siapa yang bisa menjadi robot paling sempurna."
Bangku di pojok depan, yang sudah mulai lapuk, berkata, "Tapi bukankah seharusnya pendidikan itu membebaskan pikiran? Bukankah pendidikan itu tentang mempersiapkan manusia untuk hidup, bukan untuk sekadar menjadi mesin?"
Cicak itu hanya tersenyum sinis. "Ah, kau terlalu romantis. Pendidikan di sini hanyalah tentang mempersiapkan anak-anak untuk menjadi roda kecil dalam mesin besar. Dan mesin itu... tak peduli apakah mereka paham atau tidak, asal mereka berfungsi dengan baik."
Papan tulis berbisik pelan, "Mungkin itulah sebabnya aku mulai menghitam. Aku sudah tidak kuat lagi melihat semua ini."
Hari demi hari berlalu, dan bangku-bangku tetap di sana. Papan tulis tetap berdiri meski semakin tua dan penuh coretan. Guru-guru datang dan pergi, seperti para anak-anak yang terus berdatangan, tumbuh, lalu hilang. Di luar, dunia berbicara tentang revolusi pendidikan, tentang kemajuan teknologi, tentang masa depan yang gemilang. Namun, di dalam kelas itu, segala sesuatu tetap sama.
Anak-anak lulus, masuk ke dunia nyata, dan segera menyadari bahwa dunia yang mereka hadapi tidak membutuhkan hafalan-hafalan yang mereka pelajari bertahun-tahun. Mereka tidak siap untuk berpikir kritis, tidak tahu bagaimana beradaptasi, dan bahkan tidak tahu apa yang mereka inginkan dalam hidup.
Mereka kembali menjadi boneka-boneka, menjalani rutinitas tanpa arti, hanya berusaha bertahan di dalam sistem yang tidak pernah benar-benar mengajarkan mereka untuk hidup.
Bangku-bangku di kelas itu tetap diam, menunggu siapa lagi yang akan datang duduk di atasnya, sementara papan tulis, yang semakin lama semakin hitam, akhirnya menyerah. Di hari terakhirnya, sebelum digantikan oleh papan tulis digital yang canggih, ia berbisik, "Pendidikan yang sejati tidak pernah ada di sini. Hanya bayangan dari apa yang seharusnya."
Dan kemudian, seperti mimpi yang perlahan pudar, kelas itu tertelan oleh waktu.
Post a Comment for "Monolog Bangku dan Papan Tulis"