Harta Karun yang Tak Pernah Terbayar
Di suatu pagi yang suram, ketika matahari mengintip malu dari balik awan kelabu, seorang pria bernama Joko terjaga dengan bunyi gemerincing dari langit-langit rumahnya. Bukan suara tetesan air atau kucing liar yang sering mengganggu tidur malamnya, tetapi suara lembut yang menyerupai detak jam, dengan nada monoton yang hampir menenangkan. Detak itu datang dari dompetnya yang tampaknya memiliki kehidupan sendiri.
Joko, seorang pegawai negeri dengan gaji yang hanya cukup untuk menutupi tagihan-tagihan bulanan, merasa tidak nyaman. Ia membuka dompetnya dan melihat tumpukan nota pajak yang sepertinya bertambah setiap hari, menutupi uang yang sebenarnya ada di dalamnya. Setiap lembar nota tampak lebih mirip dengan perintah dari seorang diktator ketimbang dokumen resmi. Nota pajak tersebut tidak hanya menuntut angka-angka yang menakutkan, tetapi juga menyertakan catatan-catatan aneh, seperti “Biaya Cinta Nasional” dan “Kesehatan Keluarga Buruh Rakyat” yang tampaknya lebih aneh daripada bermanfaat.
Hari itu adalah hari yang penuh paradoks, di mana Joko harus menghadapi kenyataan bahwa ia harus membayar pajak lebih dari yang bisa diandalkan oleh gajinya, meski negara memberikan insentif pajak untuk pengusaha kaya yang tidak pernah merasa bahwa mereka memiliki banyak kewajiban. Ironisnya, pengusaha-pengusaha itu lebih sibuk memikirkan cara untuk menghindari pajak daripada memikirkan bagaimana memberikan manfaat nyata kepada masyarakat.
Di tengah perjalanan pulang ke rumah dari kantor pajak, Joko melihat poster besar di pinggir jalan yang berisi slogan optimis: "Pajak untuk Kemajuan Bangsa!" Di bawah slogan itu, ada gambar seorang anak kecil dengan senyum ceria memegang bendera kecil. Ironisnya, Joko tahu bahwa anak kecil itu mungkin belum pernah melihat manfaat nyata dari pajak, seperti fasilitas kesehatan atau pendidikan yang layak.
Sejenak, Joko teringat akan temannya, Arif, yang baru saja mengundurkan diri dari pekerjaannya di sebuah perusahaan besar setelah beberapa tahun berjuang untuk memenuhi target pajak yang terus meningkat. Arif yang dulu ceria kini hanya bisa mengeluh tentang sistem yang membebani rakyat kecil sementara pengusaha besar bisa saja membuat sistem itu bekerja untuk kepentingan mereka sendiri.
Sementara itu, di suatu tempat di ibu kota, para pembuat kebijakan berkumpul di sebuah ruangan ber-AC, berdiskusi tentang bagaimana mereka bisa memanfaatkan pajak lebih baik. Dengan segelas kopi mahal di tangan dan dikelilingi oleh laporan-laporan tebal yang tidak pernah mereka baca secara mendalam, mereka menyimpulkan bahwa pajak harus ditingkatkan lagi. Tanpa menyadari bahwa keputusan mereka bukan hanya mempengaruhi Joko dan Arif, tetapi juga ribuan orang yang terjepit di antara beban ekonomi dan harapan kosong.
Di sisi lain kota, Mbah Sari, seorang nenek tua yang tinggal di rumah yang hampir runtuh, memandang kebingungan ketika surat pajak baru tiba. Mbah Sari yang selama ini hanya mengandalkan bantuan sosial yang sering kali terlambat dan tidak memadai, merasa frustrasi. "Bagaimana mungkin mereka meminta pajak dari saya, padahal saya tidak memiliki apa-apa?" tanyanya dalam hati. Dan kenyataan ini, yang tampaknya tidak dapat dimengerti oleh generasi muda, menjadi cermin dari kegagalan sistem yang mengklaim dirinya adil.
Dalam suasana ini, Joko mengunjungi sebuah kafe sederhana yang menjadi tempat pelarian bagi banyak orang dari tekanan hidup. Kafe itu penuh dengan orang-orang yang memiliki kisah serupa, berbagi keluhan dan canda untuk melupakan masalah mereka. Mereka tidak hanya mengeluh tentang harga kopi yang naik secara diam-diam, tetapi juga tentang pajak yang sepertinya tak ada habisnya. Di kafe ini, pajak bukanlah sekadar angka pada kertas, melainkan simbol dari ketidakadilan yang mendalam.
Joko tidak hanya berbicara dengan teman-temannya, tetapi juga memeriksa berita terbaru yang menunjukkan bahwa beberapa politisi terkaya sedang berusaha untuk menurunkan pajak untuk perusahaan besar mereka sendiri. Mereka memperdebatkan sistem pajak dengan retorika kosong, berjanji kepada rakyat bahwa mereka akan memperbaiki keadaan, sementara kenyataannya, mereka hanya memperbaiki keadaan mereka sendiri.
Dan di tengah kebisingan ini, saat Joko pulang ke rumah, ia mendapati bahwa dompetnya telah hilang. Tidak ada yang lebih ironis daripada kehilangan dompet yang berisi nota pajak yang tidak pernah bisa dibayar. Rasa frustrasi dan ketidakberdayaan menyelimuti pikirannya. Ia berpikir, jika dompetnya saja bisa lenyap, mengapa pajak yang begitu besar tidak juga lenyap?
Dalam keputusasaan itu, ia memutuskan untuk menulis surat kepada pemerintah, menggambarkan betapa absurditas pajak telah meresap ke dalam setiap aspek kehidupan rakyat. Surat itu adalah sebuah kritikan yang menyuarakan rasa sakit hati rakyat kecil yang selama ini hanya menjadi korban dari sistem yang kacau.
Akhirnya, Joko melepaskan semua beban pikirannya dengan sebuah tawa getir. Tawa itu bukanlah tawa yang bahagia, melainkan tawa yang menggambarkan betapa tidak adilnya dunia di sekelilingnya. Ia menyadari bahwa pajak, yang seharusnya menjadi instrumen kemajuan, telah berubah menjadi alat penindasan yang penuh paradoks.
Joko menutup hari itu dengan sebuah refleksi yang pahit namun benar: "Tidak terjadi di Indonesia," sembari mengetikkan hashtag yang seharusnya membuatnya tersenyum di dalam kesedihan, #PajakAbsurd.
Post a Comment for "Harta Karun yang Tak Pernah Terbayar"