Pesan Selendang Merah
Matahari baru saja terbit di balik Gunung Singgalang ketika jerit tangis memecah kesunyian pagi di sebuah desa di tepian Ngarai Sianok. Di antara kabut tipis yang menggantung, sesosok mayat ditemukan tergantung di pohon besar tepat di pintu masuk hutan, kakinya mengayun pelan diterpa angin lembut. Warga berkumpul, saling berbisik cemas, memandang tubuh itu dengan sorot mata antara takut dan penasaran. Tidak ada yang tahu siapa dia, dari mana asalnya, dan yang lebih mengerikan lagi—tidak ada yang tahu mengapa ia memilih mati di sini, di jantung Ranah Minang.
Kematian misterius ini segera mengundang perhatian warga dan
tetua desa. Sebagai tanah yang dipenuhi adat dan hukum yang mengikat setiap
langkah, kejadian ini bukanlah hal yang bisa dianggap remeh. Di Ranah Minang,
setiap peristiwa adalah tanda, setiap tanda adalah pesan. Namun, pesan apa yang
dibawa oleh jiwa yang hilang ini? Apakah ia datang untuk mengingatkan atau
mengutuk?
Pak Datuk, tetua adat desa, adalah orang pertama yang
mendekati tubuh itu. Matanya yang tajam memeriksa setiap inci tubuh asing itu,
mencari tanda-tanda kehidupan yang mungkin tersisa. Namun, yang ia temukan
hanyalah kedinginan kematian dan sebuah potongan kertas kecil di genggaman
tangan mayat itu. Dibukanya kertas itu perlahan, di tengah keheningan yang
semakin mencekam. Hanya ada satu kalimat di sana: "Di mana bumi
dipijak, di situ langit dijunjung."
Kalimat itu segera memicu diskusi panas di antara warga.
Apakah ini sebuah pesan bagi desa mereka? Sebuah ancaman? Atau mungkin sebuah
peringatan untuk kembali menghormati adat dan nilai-nilai yang semakin
terabaikan? Dalam beberapa tahun terakhir, desa ini memang mengalami guncangan
sosial yang cukup hebat. Gelombang modernisasi dan pengaruh luar mulai merasuki
pemikiran anak-anak muda yang merasa adat dan budaya sudah ketinggalan zaman.
Namun, bagi Pak Datuk, pesan itu lebih dari sekadar rangkaian
kata. Ia merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik kalimat itu, sesuatu yang
berkaitan dengan sejarah lama desa mereka. Ia pun memutuskan untuk memanggil
beberapa orang bijak desa, termasuk Pak Guru Marzuki, seorang mantan pendidik
yang dikenal cerdas dan mendalam pengetahuannya tentang sejarah dan filosofi
Minangkabau.
"Ini bukan sekadar tentang hukum adat atau pesan nenek
moyang," ucap Pak Guru Marzuki ketika mereka berkumpul di surau desa malam
itu. "Ini tentang identitas kita yang perlahan hilang. Kita terjebak di
antara dunia lama dan dunia baru."
Keesokan harinya, penyelidikan di sekitar tempat kejadian
menunjukkan bahwa ada jejak kaki yang mengarah lebih jauh ke dalam hutan. Jejak
itu membawa mereka pada sebuah lorong sempit yang tak banyak diketahui orang,
jalur yang menuju ke sebuah air terjun tersembunyi di tengah belantara. Di
sanalah mereka menemukan bekas-bekas perkemahan, sisa-sisa api unggun, dan
beberapa barang pribadi. Namun, yang paling mencolok adalah pemandangan di
sekitar air terjun tersebut.
Air terjun itu memancarkan warna-warni cahaya yang tidak
biasa. Kabut air yang beterbangan di udara memantulkan sinar matahari pagi
menjadi pelangi yang berputar-putar, menyatu dengan rimbunan hijau pepohonan
yang mengelilinginya. Di sisi tebing, ada sebuah batu besar yang diukir dengan
pola-pola kuno. Ukiran itu menggambarkan seekor harimau dan seorang gadis muda
yang memegang sebuah selendang merah, simbol klasik yang sering muncul dalam
mitos Minangkabau tentang seorang putri yang menyelamatkan desanya dari kemarau
panjang.
“Ini bukan ukiran biasa,” ujar Pak Guru Marzuki dengan mata
berbinar. “Ini cerita lama yang mengingatkan kita tentang asal-usul kita,
tentang bagaimana kita, sebagai orang Minang, hidup selaras dengan alam dan
menjaga keseimbangan antara adat, budaya, dan kemajuan.”
Namun, seiring berjalannya hari, desas-desus dan ketakutan
menyebar di desa. Kematian yang tidak terjelaskan dan penemuan di hutan itu
membuat banyak orang merasa gelisah. Desa yang dulunya tenang dan penuh
kehangatan adat kini dipenuhi dengan ketakutan dan curiga. Mereka mulai
merasakan ada sesuatu yang lebih dalam—sebuah perubahan yang mungkin tidak bisa
dihentikan.
Di tengah kekacauan ini, seorang pemuda bernama Rahman merasa
gelisah. Rahman adalah salah satu dari mereka yang percaya bahwa desa harus
maju dan keluar dari kungkungan tradisi. Namun, dalam beberapa minggu terakhir,
ia mulai merasakan ada sesuatu yang hilang dalam jiwanya—sesuatu yang mungkin
ada hubungannya dengan akar budayanya yang mulai ia tinggalkan. Di puncak
kebimbangannya, ia memutuskan untuk kembali ke tempat itu, tempat mayat itu
pertama kali ditemukan, untuk mencari jawaban.
Rahman membawa serta sehelai selendang merah yang ditemukan
di dekat ukiran batu di hutan. Ia berdiri di depan pohon besar tempat mayat itu
tergantung, memegang selendang itu erat-erat. Tiba-tiba, seberkas cahaya terang
muncul dari balik pepohonan, dan dalam sekejap, ia merasa tubuhnya ditarik ke
dalam pusaran cahaya.
Saat ia membuka matanya, Rahman menemukan dirinya di sebuah
padang rumput luas di tengah ngarai. Di depannya, berdiri seorang wanita tua
dengan pakaian adat lengkap, memegang tongkat kayu yang dihiasi ukiran-ukiran
khas Minangkabau. Wajahnya penuh kebijaksanaan, namun ada kelelahan yang
mendalam di matanya.
"Kau datang untuk mencari jawaban, anak muda?"
tanyanya dengan suara yang lembut namun penuh wibawa.
Rahman mengangguk, merasa kaku dan gugup. "Aku... aku
ingin tahu apa arti semua ini. Mengapa orang itu mati di sini? Mengapa ada
selendang ini? Apa hubungan semua ini dengan desa kita?"
Wanita tua itu tersenyum tipis. "Kematian adalah pintu
menuju kehidupan lain. Dan selendang itu adalah penanda sebuah siklus yang
harus terus berputar. Desa ini, seperti halnya dunia, sedang berada di titik
perubahan. Kau harus memilih, Rahman, apakah akan berjalan bersama arus
perubahan itu, atau melawan dan menjaga akar-akarmu tetap tertanam dalam."
Rahman terdiam. Ia merasa seakan-akan seluruh hidupnya sedang
ditimbang di neraca antara masa lalu dan masa depan. Wanita tua itu kemudian
melangkah maju dan meletakkan tangan di pundaknya.
"Kau harus ingat, Rahman," katanya dengan suara
yang kini lebih bergetar, "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Hanya dengan menghargai tempatmu berdiri, kau bisa melihat langit dengan
jelas."
Pagi itu, Rahman terbangun di tepi hutan dengan selendang
merah masih di tangannya. Ia tahu sekarang apa yang harus ia lakukan. Desa ini
tidak boleh kehilangan jiwanya, tidak boleh kehilangan adat dan budayanya hanya
demi mengikuti arus zaman. Dengan langkah tegap, ia kembali ke desa, bersiap
untuk memimpin perubahan yang akan mengharmoniskan modernitas dan tradisi,
seperti yang selalu diajarkan oleh nenek moyangnya.
Kematian di pohon itu bukanlah akhir, melainkan awal dari
sebuah perjalanan baru bagi seluruh desa, untuk menemukan kembali identitas
mereka di tengah dunia yang terus berubah.
Post a Comment for "Pesan Selendang Merah"