Negeri Cermin Retak 2
Di sebuah negeri bernama Indonesia, di mana keragaman seharusnya menjadi kekuatan, ironi-ironi kehidupan justru menjadi warna sehari-hari. Sebuah negeri yang dipenuhi dengan kebanggaan sejarah, namun terjebak dalam paradoks masa kini. Negeri ini dihuni oleh tokoh-tokoh absurd, masing-masing membawa kisah yang mencerminkan kekacauan tersembunyi di balik senyum ramah dan semboyan persatuan.
Di sudut kota, ada seorang pria bernama Sarman, seorang pedagang kaki lima yang setiap hari berjualan nasi goreng di pinggir jalan. Sarman, dengan setia menggoreng nasi sambil mendengarkan berita di radio kecilnya, selalu merasa heran mendengar kisah-kisah heroik para pemimpin yang ia tahu hanya sebagian kecil dari kenyataan. Dia pernah bertanya kepada dirinya sendiri, bagaimana bisa para pemimpin itu begitu kaya raya, sementara dirinya harus berjuang keras hanya untuk mendapatkan segenggam beras?
Suatu hari, di tengah kebisingan kota, muncul sebuah kabar bahwa pemerintah akan mengadakan kontes menulis cerita pendek tentang ironi kehidupan di Indonesia. Sarman, yang tak pernah mengenyam pendidikan tinggi, merasa tertantang. Ia ingin menulis kisahnya, tentang bagaimana ia harus menghindar dari petugas yang terus mengejarnya karena berjualan tanpa izin, sementara para koruptor bebas melenggang dengan tenang.
Sementara itu, di sebuah gedung mewah, seorang pejabat bernama Haris sedang sibuk mempersiapkan pidato tentang transparansi dan keadilan. Haris, yang terkenal dengan senyum lebar dan retorika manisnya, selalu berhasil memukau audiensnya. Namun, di balik layar, Haris adalah sosok yang penuh tipu daya. Ia menguasai banyak lahan melalui jalur belakang, memanfaatkan kekuasaannya untuk memperkaya diri. Pidatonya tentang keadilan hanyalah sebuah topeng yang digunakan untuk menyembunyikan ambisinya.
Di sisi lain, ada Sinta, seorang aktivis lingkungan yang tak kenal lelah memperjuangkan kelestarian hutan. Sinta sering turun ke jalan, berorasi di depan gedung-gedung pemerintah, menuntut perlindungan bagi hutan Indonesia yang terus-menerus dirusak oleh perusahaan besar. Namun, usahanya sering kali diabaikan. Di negeri ini, suara rakyat kecil seperti Sinta seolah-olah hanya angin lalu, tak pernah benar-benar didengar.
Di tengah semua kekacauan ini, ada sebuah jembatan tua yang menghubungkan dua bagian kota. Jembatan ini menjadi simbol dari jurang besar antara harapan dan kenyataan di negeri ini. Setiap hari, ribuan orang melintasi jembatan itu, membawa beban hidup mereka masing-masing. Ada yang berjalan dengan penuh harap, ada yang melangkah dengan keputusasaan. Jembatan tua itu berderit di bawah beban mimpi-mimpi yang tak kunjung terwujud.
Suatu malam, Sarman duduk di warung kecilnya, menatap kosong ke arah jembatan yang tak jauh dari tempatnya berjualan. Di seberang jalan, ia melihat seorang pria tua yang berdiri dengan raut wajah penuh kebingungan. Pria itu, yang tampaknya berasal dari desa jauh, tersesat di keramaian kota. Sarman mendekatinya, menawarkan bantuan. Pria tua itu menceritakan bahwa ia datang ke kota untuk mencari anaknya yang pergi merantau dan tak pernah kembali.
Sarman terdiam, teringat akan keluarganya di desa yang ia tinggalkan demi mencari nafkah di kota. Kisah pria tua itu membuatnya sadar bahwa di balik hiruk pikuk kota, ada banyak hati yang merana, banyak jiwa yang hilang arah. Sarman pun memutuskan untuk membantu pria tua itu mencari anaknya, meski ia tahu tugas itu tidaklah mudah.
Hari demi hari, Sarman dan pria tua itu menjelajahi sudut-sudut kota, menanyakan kabar kepada setiap orang yang mereka temui. Namun, pencarian mereka selalu berujung buntu. Di tengah pencarian itu, Sarman mulai menulis cerita tentang perjalanannya. Ia menulis tentang ironi seorang ayah yang mencari anaknya di tengah kota yang penuh janji manis tapi hampa.
Cerita Sarman mulai menyebar, dari mulut ke mulut, hingga sampai ke telinga Haris, sang pejabat. Haris, yang merasa terancam dengan cerita itu, mencoba untuk menghentikan penyebarannya. Ia mengirimkan orang-orangnya untuk menakut-nakuti Sarman dan pria tua itu. Namun, Sarman tak gentar. Ia tahu bahwa kebenaran harus disuarakan, meskipun suaranya kecil dan nyaris tak terdengar.
Di puncak klimaks, kontes menulis yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Sarman dengan penuh keberanian mengirimkan ceritanya. Haris, yang menjadi juri dalam kontes tersebut, tak dapat berbuat apa-apa ketika cerita Sarman dinyatakan sebagai pemenang. Kejujuran dan ketulusan dalam tulisan Sarman berhasil menyentuh hati banyak orang, termasuk para juri lainnya yang tak terpengaruh oleh kekuasaan Haris.
Pada malam pengumuman pemenang, Sarman berdiri di panggung, memegang piala kemenangannya. Di hadapannya, Haris duduk dengan wajah tegang. Sarman memulai pidatonya, menceritakan perjalanannya mencari anak pria tua itu, menggambarkan ironi-ironi yang ia temui sepanjang jalan.
"Negeri ini," kata Sarman dengan suara bergetar, "adalah negeri cermin retak. Kita melihat bayangan diri kita di dalamnya, tapi bayangan itu terdistorsi oleh retakan-retakan kebohongan, ketidakadilan, dan keserakahan. Namun, kita tidak boleh menyerah. Kita harus terus berjuang untuk memperbaiki cermin itu, meskipun mungkin tidak sempurna."
Tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Haris, yang merasa malu, berusaha untuk keluar dari kerumunan. Namun, langkahnya terhenti ketika pria tua yang selama ini bersama Sarman muncul di hadapannya. Dengan suara lembut, pria tua itu berkata, "Anakku, sudah waktunya kau kembali. Kembali ke jalan yang benar."
Haris terdiam, wajahnya memucat. Ia baru menyadari bahwa pria tua itu adalah ayahnya sendiri, yang selama ini ia abaikan demi ambisi kekuasaannya. Malam itu, Haris merasakan beban yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menyadari bahwa kebenaran tak bisa selalu disembunyikan, dan bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensi.
Cerita Sarman tentang ironi kehidupan di Indonesia menjadi pengingat bagi semua orang bahwa di balik setiap topeng dan cermin retak, selalu ada kebenaran yang menunggu untuk ditemukan. Negeri ini mungkin penuh dengan paradoks, namun di tangan orang-orang seperti Sarman dan Sinta, harapan untuk perubahan selalu ada.
Dan di atas jembatan tua itu, di bawah langit malam yang penuh bintang, Sarman dan pria tua itu berdiri bersama, menatap ke arah masa depan dengan keyakinan bahwa negeri ini, meskipun penuh ironi, masih memiliki harapan untuk menjadi lebih baik.
Terima kasih, keren.
ReplyDeleteTerima kasih apresiasinya
DeleteRenyah sekali tulisannya.
ReplyDeleteTerima kasih apresiasinya
Delete