Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Lukisan di Langit Minang

Mentari terbit dari balik Gunung Marapi dengan sinar yang menyentuh setiap daun pohon kelapa yang bergoyang anggun di sepanjang pantai Air Manis. Sinar pagi menggelitik permukaan Danau Maninjau, memantulkan kilauan bak cermin yang memamerkan warna biru langit. Hari itu, alam Sumatera Barat begitu sempurna. Bagi Andam, seorang anak nelayan dari Nagari Tuo Pariangan, setiap pagi adalah janji akan cerita baru.

 

Lukisan di Langit Minang

Namun pagi itu berbeda. Desa tiba-tiba digemparkan oleh kedatangan sosok tua bersorban putih dengan tongkat kayu berukir ukiran khas Minang. Orang tua itu, tanpa nama dan tanpa riwayat, muncul di tepi danau seolah dilukis dari sepotong kabut pagi. Wajahnya keriput namun matanya bercahaya, seperti menyimpan berjuta kisah yang tersembunyi dalam lipatan zaman.

 

“Apakah ini akhir atau permulaan, Nak?” tanya sang orang tua kepada Andam yang tengah memeriksa jaring ikan di perahu tuanya.

 

Andam, yang kerap kali menjadi saksi dari fenomena alam dan cerita-cerita magis para tetua kampung, hanya bisa terpana. Pertanyaan sederhana itu terasa seperti hujan di tengah kemarau; menyejukkan tapi juga membingungkan. Sejenak, Andam merasa seolah dialah yang menjadi bagian dari cerita misterius yang akan segera terungkap.


Di nagari yang dikelilingi oleh bukit-bukit dan gunung berapi aktif, Andam dan masyarakatnya hidup dalam keseharian yang dihiasi dengan upacara adat, rasa hormat kepada alam, dan cerita-cerita lama yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tapi di balik keindahan yang seperti lukisan itu, ada gejolak yang terus menggeliat di bawah permukaan: modernisasi yang memaksa masuk seperti ombak besar yang siap menelan setiap tradisi yang masih tersisa.

 

Andam teringat kata-kata Mamaknya, “Alam ini adalah pusaka, tapi kau lihatlah, Nak, setiap tahun ada saja yang hilang.”

 

Mamak benar. Sungai yang dulu jernih kini keruh karena penambangan ilegal. Sawah yang dulu luas berubah menjadi bangunan hotel mewah. Tradisi yang dulu sakral kini menjadi tontonan untuk wisatawan. Andam melihat, tetapi ia tak tahu harus berbuat apa.

 

Suatu malam, di tengah gemuruh hujan yang mengguyur berat di atap rumah-rumah gadang, Andam bermimpi. Ia berjalan di atas ladang yang telah tandus. Pohon-pohon randu tak lagi berbuah, dan seekor harimau Sumatera yang kurus terlihat menyeret langkahnya dengan mata yang redup. Ketika Andam mendekat, harimau itu berbicara, “Di sini tanah kita, di sini langit kita, tapi tak ada lagi tempat bagi kita.” Harimau itu kemudian beranjak ke tepi danau, lalu lenyap bersama kabut.

 

Mimpi itu begitu nyata. Saat terbangun, Andam merasa ada sesuatu yang harus ia lakukan. Tapi apa? Apa yang bisa dilakukan seorang anak nelayan yang hidupnya terjebak antara budaya lama yang terus terkikis dan modernisasi yang semakin mendesak?

 

Andam memutuskan untuk menemui Pak Arifin, tokoh adat yang dihormati sekaligus penjaga tradisi di nagari mereka. Pak Arifin, dengan rambut putih dan kacamata yang menggantung di ujung hidungnya, menyimak cerita Andam dengan penuh perhatian. Saat Andam selesai, Pak Arifin hanya mengangguk pelan dan berkata, “Anak muda harus berpikir di luar kelok, seperti jalan di lereng gunung. Kita tidak bisa hanya terus menyesali, harus ada tindakan, Nak.”

 

Dengan dorongan kata-kata Pak Arifin, Andam berusaha menggerakkan warga nagari. Ia menggagas kembali sistem sawah ladang berbasis adat, meminta para petani untuk kembali ke cara-cara yang lestari. Ia juga menggagas gerakan "Marandang Tanah Sendiri", sebuah usaha kolektif untuk menghidupkan kembali hutan dan sungai. Andam, dengan semangat yang baru, ingin membuktikan bahwa modernisasi dan adat bisa berjalan berdampingan.

 

Namun, perubahan tidak mudah. Banyak yang skeptis, termasuk pemuda-pemuda kampung yang lebih tertarik bekerja di kota atau menjadi pemandu wisata. Mereka melihat Andam sebagai pemimpi yang terjebak dalam romantisme masa lalu. "Kenapa repot-repot, Dam? Lihat itu, gedung-gedung tinggi di Padang! Lihat kesuksesan orang kota! Kau pikir kita bisa melawan waktu?" tanya seorang pemuda dengan nada mencemooh.

 

Tapi Andam tidak gentar. Setiap hari ia bangun lebih awal, mengajak warga yang mau ikut, menanam pohon, memperbaiki jaring, membersihkan sungai, dan menyanyikan lagu-lagu Minang lama di setiap langkah. Ia percaya bahwa ketika alam berbicara, manusia harus mendengarkan. Ketika alam menangis, manusia harus menyeka air matanya.

 

Suatu sore, ketika matahari mulai tenggelam di balik gunung, Andam melihat sosok orang tua bersorban itu lagi, kali ini berdiri di tepi sawah yang baru selesai ditanami. Sosok itu tersenyum tipis, wajahnya seperti terpahat dari batu cadas yang telah dihantam badai dan angin. “Kau tahu, Nak, tanah ini tidak butuh kita, kitalah yang butuh tanah ini,” katanya. Andam hanya mengangguk, paham bahwa perubahan besar tidak datang dari satu orang, tetapi dari suara-suara kecil yang terus bergema, seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti meski terkadang harus melewati bebatuan.

 

Malam itu, Andam duduk di atas perahunya yang mengapung tenang di Danau Maninjau. Ia memandang bintang yang tersebar di langit, dan tiba-tiba merasa sangat kecil di hadapan semesta. Namun, di balik kerendahan hatinya, ada keyakinan yang tumbuh: bahwa ia adalah bagian dari cerita yang lebih besar, lebih tua, dan lebih abadi daripada dirinya sendiri.

 

Lima tahun berlalu, dan Nagari Tuo Pariangan mulai berubah. Bukan perubahan besar dan cepat seperti gempa bumi atau badai, melainkan perubahan halus seperti tunas baru yang muncul di antara semak-semak. Sungai mulai bersih kembali, dan sawah-sawah terlihat lebih hijau dari tahun-tahun sebelumnya. Warga nagari mulai memahami bahwa adat bukanlah sekedar warisan yang harus disimpan dalam museum, tetapi sesuatu yang harus hidup, tumbuh, dan beradaptasi.

 

Namun perubahan terbesar terlihat di mata Andam. Ia tidak lagi melihat alam sebagai sesuatu yang statis, tetapi sebagai bagian dari dirinya sendiri. Di setiap tiupan angin, di setiap gemericik air sungai, dan di setiap nyanyian burung di pagi hari, Andam mendengar gema dari masa lalu yang memberi pesan bagi masa depan.

 

Dan di suatu senja, ketika Andam kembali melihat sosok tua bersorban itu di kejauhan, ia tahu bahwa pertanyaan yang dulu diajukan kepadanya telah terjawab. Ini bukanlah akhir, tetapi permulaan yang baru. Sebuah permulaan yang lahir dari keberanian untuk bermimpi dan bertindak, dari cinta terhadap tanah dan langit Minang, dan dari keyakinan bahwa meskipun perubahan selalu terjadi, akar-akar budaya dan alam akan selalu ada untuk menjadi pegangan.

 

Andam, yang kini menjadi sosok yang dihormati di nagari, duduk di tepi danau, menikmati keindahan yang sudah ia perjuangkan. “Kita ini bukan pemilik alam, hanya penjaga sementara,” gumamnya pelan, mengutip kata-kata lama yang kini memiliki makna baru. Di atas langit Minang, awan berarak lambat, seolah turut menyaksikan perjalanan panjang sebuah nagari yang menemukan kembali jiwanya.

 

Cerita ini berakhir dengan Andam, sosok sederhana yang tumbuh menjadi penjaga alam dan budaya. Sebuah pelajaran dari Sumatera Barat bahwa keindahan dan keunikan bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk dijaga dan diwariskan. Fenomena sosial dan alam yang terjadi tidak lagi menjadi sekedar cerita masa lalu, tetapi menjadi panduan bagi generasi mendatang untuk berjalan dengan bijak di antara modernisasi dan tradisi. Sebuah perjalanan yang tak akan pernah usai, selama langit Minang masih terlukis indah.

NYASTRA
NYASTRA Penjelajah sastra dunia

Post a Comment for "Lukisan di Langit Minang"