Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Di Negeri Para Jenderal

Oleh S. Herianto

Di sebuah negeri bernama Indonesia, hiduplah rakyat yang terperangkap dalam absurditas kehidupan sehari-hari. Mereka dikelilingi oleh para jenderal yang tak terlihat, namun kekuasaan dan pengaruh mereka merasuki setiap sudut kehidupan. Jenderal-jenderal ini tidak berperang di medan tempur, melainkan di panggung politik, ekonomi, dan budaya.

Bayangkan sebuah pasar, di mana pedagang ikan berbicara tentang teori konspirasi dan nelayan mendiskusikan kebijakan moneter. Di sini, ikan-ikan yang terjual bukan hanya sekadar makanan, melainkan simbol dari janji-janji yang tak pernah terealisasi. Seorang pedagang ikan, Pak Tejo, setiap hari mengamati keanehan yang terjadi di sekitarnya. Ia sering mendengar kabar bahwa harga ikan naik bukan karena tangkapan berkurang, melainkan karena keputusan jenderal-jenderal yang berkuasa dari balik layar.

Di Negeri Para Jenderal


Pak Tejo, seorang lelaki tua dengan rambut yang telah memutih, mengingat bagaimana dulu laut begitu ramah dan penuh dengan ikan. Kini, ia hanya bisa mengeluh tentang nelayan yang harus membayar pajak lebih untuk setiap jaring yang mereka lemparkan ke laut. “Ini semua gara-gara jenderal-jenderal itu,” gumamnya sambil menatap kosong ke arah lautan yang semakin sepi.

Di sudut lain, ada Ibu Siti, seorang penjual sayur yang terjebak dalam lingkaran kebijakan impor yang tak masuk akal. Setiap kali ia mendengar berita tentang kebijakan baru, hatinya berdegup kencang. “Sayur dari luar negeri lebih murah,” kata seorang pembeli dengan nada sinis. Ibu Siti hanya bisa menghela napas panjang. Bagaimana mungkin sayur yang ditanam di tanah sendiri kalah bersaing dengan sayur impor? Ia tahu, ada jenderal yang bermain di balik layar, membuat keputusan yang hanya menguntungkan segelintir orang.

Kehidupan di negeri ini penuh dengan ironi. Di satu sisi, para petani berjuang mati-matian untuk mempertahankan hidup, sementara di sisi lain, pengusaha besar dengan mudahnya mendapatkan keuntungan berlipat ganda. Setiap kebijakan yang diambil selalu terasa absurd dan jauh dari kenyataan yang dihadapi rakyat.

Di sebuah kantor pemerintahan, duduk seorang birokrat muda bernama Agus. Ia dikenal sebagai pegawai yang jujur dan berdedikasi. Namun, dalam hatinya, Agus menyimpan kekesalan yang mendalam. Setiap hari ia harus menghadapi absurditas sistem yang tidak berpihak pada kebenaran. “Kenapa kita harus terus-menerus mengisi laporan yang tidak berguna ini?” tanya Agus pada atasannya suatu hari. Jawabannya selalu sama, “Ini perintah dari atas, kita hanya menjalankan.”

Agus sering kali merenung tentang masa depan negeri ini. Ia melihat bagaimana para jenderal dengan mudahnya mempengaruhi kebijakan, sementara rakyat kecil harus terus berjuang tanpa henti. Di antara tumpukan berkas yang tak ada habisnya, Agus menemukan sebuah pola. Kebijakan-kebijakan yang diambil selalu berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan, meninggalkan rakyat dalam kebingungan dan keputusasaan.

Suatu hari, Agus memutuskan untuk mencari tahu lebih dalam. Ia mulai membaca dokumen-dokumen rahasia, mencoba memahami siapa sebenarnya yang mengendalikan negeri ini. Dalam pencariannya, ia menemukan nama-nama yang tak asing lagi, nama-nama para jenderal yang selama ini bersembunyi di balik topeng birokrasi.

Sementara itu, di sebuah desa terpencil, seorang anak muda bernama Budi bermimpi menjadi jenderal. Namun, bukan jenderal seperti yang sering ia dengar dalam cerita-cerita absurd di desanya, melainkan jenderal yang benar-benar berjuang untuk kebenaran. Budi melihat ketidakadilan di sekelilingnya dan bertekad untuk merubahnya. Ia mulai belajar dengan tekun, berharap suatu hari bisa membawa perubahan.

Budi tumbuh dalam keluarga yang sederhana. Ayahnya seorang petani dan ibunya seorang penenun. Setiap hari, Budi membantu orang tuanya di ladang, namun di malam hari, ia tenggelam dalam buku-buku sejarah dan politik. Ia membaca tentang perjuangan para pahlawan yang dengan gagah berani melawan penjajahan. Dalam hati, Budi berjanji, “Suatu hari, aku akan menjadi seperti mereka. Aku akan melawan para jenderal yang hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri.”

Namun, jalan menuju cita-cita tidaklah mudah. Budi sering kali dihadapkan pada pilihan sulit. Ketika ia diterima di sekolah militer, ia harus meninggalkan desanya dan keluarganya. Ia tahu, ini adalah langkah pertama menuju mimpinya. Di sekolah militer, Budi belajar tentang strategi perang, kepemimpinan, dan integritas. Ia selalu ingat pesan ayahnya, “Jadilah pemimpin yang berjuang untuk rakyat, bukan untuk diri sendiri.”

Tahun demi tahun berlalu, Budi akhirnya lulus dengan predikat terbaik. Ia mulai meniti karier di militer dengan penuh semangat. Namun, ia segera menyadari bahwa sistem yang ada penuh dengan korupsi dan ketidakadilan. Budi tak gentar, ia terus berusaha mengubah keadaan dari dalam. Ia mulai mengajak rekan-rekannya untuk bersama-sama melawan ketidakadilan.

Di tengah perjuangannya, Budi sering kali dihadapkan pada ancaman dan intimidasi. Namun, ia tetap teguh pada pendiriannya. “Jika kita tidak berjuang, siapa lagi yang akan melakukannya?” katanya pada suatu malam kepada rekan-rekannya. Budi tahu, perjuangannya tidak akan mudah, namun ia percaya bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri.

Sementara itu, Agus yang telah mengumpulkan bukti-bukti tentang keterlibatan para jenderal dalam berbagai kebijakan yang merugikan rakyat, akhirnya memutuskan untuk mempublikasikan temuannya. Ia mengirimkan laporan tersebut ke media massa, berharap masyarakat akan menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Berita tersebut segera menjadi headline di berbagai surat kabar dan portal berita.

Reaksi masyarakat pun beragam. Ada yang marah, ada yang tidak percaya, namun banyak juga yang merasa lega karena akhirnya kebenaran terungkap. Para jenderal yang selama ini bersembunyi di balik layar mulai panik. Mereka tahu, kekuasaan mereka mulai terancam.

Di tengah gejolak tersebut, Budi yang kini telah menjadi seorang perwira tinggi, memutuskan untuk berdiri di pihak rakyat. Ia mengajak rekan-rekannya untuk bergabung dalam perjuangan melawan korupsi dan ketidakadilan. “Kita harus berubah, demi masa depan negeri ini,” katanya dengan penuh semangat.

Dalam sebuah pertemuan rahasia, Budi dan Agus akhirnya bertemu. Keduanya saling berbagi informasi dan strategi. Mereka tahu, perjuangan ini tidak akan mudah, namun mereka yakin bahwa dengan persatuan dan keberanian, mereka bisa membawa perubahan.

Perjuangan Budi dan Agus akhirnya membuahkan hasil. Rakyat mulai sadar dan bangkit melawan ketidakadilan. Para jenderal yang selama ini bersembunyi di balik layar akhirnya tertangkap dan diadili. Negeri yang dulu penuh dengan absurditas dan ironi, perlahan-lahan berubah menjadi negeri yang adil dan sejahtera.

Di akhir cerita, Pak Tejo dan Ibu Siti melihat perubahan yang terjadi dengan penuh haru. Mereka kini bisa menjual ikan dan sayur dengan harga yang wajar. Budi dan Agus menjadi simbol perjuangan melawan ketidakadilan, dan nama mereka dikenang sebagai pahlawan yang membawa perubahan.

Indonesia, negeri yang dulu terperangkap dalam absurditas, kini menjadi negeri yang penuh harapan. Dan di antara tumpukan buku-buku sejarah, nama Budi dan Agus akan selalu dikenang sebagai pahlawan yang berjuang demi kebenaran dan keadilan.

NYASTRA
NYASTRA Penjelajah sastra dunia

Post a Comment for "Di Negeri Para Jenderal"